Belum lama seorang teman di facebook men-share tulisan mengenai Etika Ber-SMS dengan Dosen. Tulisan tersebut bisa dibaca di sini. Saya setuju bahwa ada etika ketika kita berkomunikasi dengan siapapun, tidak hanya kepada Guru dan Dosen.
Seperti halnya ketika berhubungan dengan bermasyarakat, kita harus memperhatikan etika, adab, tata krama. Apa yang terjadi kalau di dalam pergaulan sosial manusia tidak lagi mengenal sopan santun? Barangkali kita tidak perlu banyak berbicara, karena peristiwa yang ada di sekitar kita saat ini sudah menjadi bukti dampak dari memudarnya nilai-nilai budi pekerti.
Budi pekerti adalah induk dari segala etika, tata krama, bagaimana berperilaku baik dalam pergaulan.
Ada cerita menarik dari buku Bung Hatta. Hatta kecil pernah menolak sekolah, karena menurut ia sekolah adalah bikinan Belanda. Sang Kakek kemudian mengatakan seperti ini, “Ilmu bukan datang dari orang Belanda, tapi dari Allah. Kita wajib belajar dan bersekolah agar pandai dan berbudi”. (halaman 28, dari sebuah novel. Hatta, Aku Datang karena Sejarah).
Dengan belajar, manusia mendapatkan pengetahuan. Dengan pengetahuan, menurut Helen Keller, seseorang semustinya bisa membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk, mana yang mulia dan tidak. Selaras dengan arti kata budi, yaitu kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah.
Maka, sangat jelas bukan, bahwa tujuan pendidikan itu tidak hanya menjadikan kamu pandai tapi sejatinya juga berbudi pekerti luhur. Berbudi, dalam kamus bahasa Indonesia artinya mempunyai budi (tabiat dan watak yang baik), mempunyai kebijaksanaan, berakal, berkelakuan baik, murah hati, baik hati.
Jadi, absurd buat saya kalau ada orang berkilah bahwa etika tidak diperlukan dalam pergaulan di masyarakat. Apalagi, untuk kasus di atas, beranggapan bahwa Guru atau Dosen mereka gila hormat. Sama sekali bukan dengan alasan seorang Guru atau Dosen ingin dihargai tetapi memiliki etika yang baik itu juga merupakan tujuan sebuah pendidikan.