Sudah lama saya puasa menonton TV. Berhenti menonton televisi tanpa sebuah niat khusus, terjadi begitu saja. Barangkali karena bekerja di kota besar seperti Jakarta, dimana lalu lintas begitu padat dan jarak tempuh yang tidak singkat, memang menghabiskan energi. Sampai di rumah badan sudah letih. Kalau harus ditambahi dengan tontonan sinetron yang isinya orang teriak-teriak itu bukan menghibur hati malah sebaliknya, pengin melempar sandal ke televisi :).
Maka, hubungan saya dengan televisi pun berakhir perlahan. Menonton televisi hanya di tempat-tempat tertentu, seperti stasiun kereta api, bandara, rumah saudara, dan lain-lain. Selintas lewat :). Sekarang, untuk berita-berita penting saya lebih mengandalkan TV streaming.
Maka, wajar juga kalau saya tidak update dengan kabar-kabar infotainment dan acara hiburan di TV. Sebaliknya, berita kasak kusuk tingkah laku artis malah saya peroleh dari status kawan-kawan di sosial media. Tetapi, saya hampir tidak pernah membuka link yang mereka sertakan di dalam berita itu. Pertama, keamanan. Saya belajar untuk tidak selalu ‘ingin tahu’ dengan mengeklik sembarang link. Apalagi ada masa virus dan spyware menyebar yang mengakibatkan wall sosial media milik kita ditempeli video atau gambar yang tidak pantas. Kedua, malas. Saya tak terlalu berminat mengikuti kehidupan para artis. Ini sebenarnya lebih ke arah pengereman diri pribadi saja. Saya khawatir bakal tambah nyinyir kalau membaca berita tentang mereka :). Sedangkan saya sedang belajar untuk tidak dengan mudah menghakimi orang lain. Sulit loh itu. Sungguh.
Namun ada kalanya pernyataan selintas di status kawan membuat saya gregetan juga ingin berkomentar. Halah :).
Saya tidak tahu seperti apa acara televisi saat ini. Tetapi saya percaya bahwa tontonan pun seperti halnya bacaan akan membentuk cara kita berpikir. Pembentukan karakter kita pun tidak lepas dari pengaruh keduanya, yang kita lihat dan yang kita baca.
Nah, kebetulan beberapa hari yang lalu saya melihat film televisi jaman dahulu di youtube. Mulanya saya mencari film Neraca Kasih yang dibintangi Tuti Indra Malaon. Konon ini film bagus. Dari film Neraca Kasih saya lalu menenukan tak sengaja film yang dibintangi oleh Yessy Gusman dan Rano Karno (dua artis paling top di jamannya) yang berjudul Buah Terlarang. Hm, memang agak gimana gitu judulnya ya? π
Filmnya tak penuh, tapi ada beberapa hal menarik yang saya amati dari film lama ini.
Dikisahkan, sepasang remaja SMA yang saling jatuh cinta. Singkat cerita, terjadi kehamilan. Bagaimana sikap orang tua, anak, dan orang-orang disekeliling mereka menyikapi peristiwa tersebut? Ini yang menarik.
Dalam sebuah adegan, ditampilkan bagaimana si Ibu perempuan berkomunikasi dengan sang putri. Bagaimana si Ibu menghargai privasi anaknya dengan meminta asisten rumah tangganya membuat bubur dan segera menutup pintu kamar agar mereka berdua bisa berkomunikasi. Walaupun kaget dan marah dengan pengakuan putrinya tetapi si Ibu tampak bisa menahan emosinya. Kalau di sinetron sekarang barangkali si Ibu sudah teriak-teriak histeris (semoga masih dengan kalimat yang santun ya? π ) sambil tak lupa mata melotot dan urat wajah menegang. Lalu, sang anak pun tak kalah galak. Balik menyalahkan Ibunya dan membanting pintu, pergi. Tinggal deh si Ibu menangis sesengukan. Drama banget ya? (Jadi bertanya-tanya, apakah kepandaian masyarakat kita ber-drama di dalam dunia nyata ini diwarisi dari tontonan yang seperti ini ya?).
Adegan lainnya dalam film lama itu adalah ketika si Ibu mencari waktu yang tepat untuk bisa menceritakan kehamilan putri mereka kepada sang suami. Ada juga diceritakan bagaimana para Guru berdebat untuk menyelesaikan permasalahan yang bisa mencoreng nama sekolah. Para Guru di film ini digambarkan sebagai orang-orang pintar yang terdidik. Perhatikan bagaimana mereka berdiskusi dan sampai kepada keputusan akhir.
Beberapa kutipan dialog yang saya suka dari film ini.
“Memberikan kesempatan untuk melanjutkan sekolah juga berarti merupakan hukuman yang berat. Dia diuji untuk menghadapi kenyataan dan lingkungannya. Hukuman tidak harus berupa penistaan. Senyuman pun bisa merupakan hukuman.”
“… Pendidikan tidaklah sekedar memperoleh ijasah tetapi mempersiapkan anak didik kita menghadapi masyarakatnya kelak.”
Ibu si anak laki-laki: “… Tampaknya dia putus asa dan tidak sanggup menghadapi Guru dan teman-temannya.” (ketika si Ibu menceritakan bahwa anak laki-lakinya tidak ingin melanjutkan sekolah)
Wali kelas: “… Tetapi ini merupakan ujian bagi dia untuk menghadapi kenyataan. Dan itu memang pahit tapi ini sangat perlu untuk membuktikan bahwa perbuatannya tidak dilakukan iseng-iseng.”
Tanpa harus berteriak kasar dan melotot serta tegangan syaraf lainnya toh pesan film ini pun tetap sampai, bahwa apa yang kedua remaja itu lakukan adalah hal yang salah, yang membuat orang tua mereka marah dan kecewa. Namun, itu lah konsekuensi dari apa yang mereka perbuat. Keduanya harus berani belajar untuk menghadapi kehidupan dan bertanggungjawab terhadap pilihan mereka.
Jaman memang berubah, tapi nilai-nilai moral dan budi pekerti tak selayaknya tergerus oleh kemajuan jaman.
Yang berminat melihat trailernya silakan ke sini: https://www.youtube.com/watch?v=pmzy5ebC810