Tergelitik membaca tulisan Novi di sini, saya jadi teringat masa kecil dulu. Seringkali saya bersyukur bahwa saya dilahirkan pada masa-masa dimana siaran TV dan segala pernak-pernik hiburan belum segencar saat ini. Karenanya, buku adalah suatu kemewahan dan hiburan yang paling mengasyikkan.
Awal-awal sekolah dasar adalah perkenalan saya dengan buku-buku karya Enid Blyton. Hampir semua koleksi Blyton saya punya, dari Lima Sekawan, Sapta Siaga, Mallory Towers, dan Pasukan Mau Tahu. Lainnya komik lima benua dan seri penemu. Hmm, bisa dibilang ketertarikan saya pada alam dan petualangan adalah hasil didikan Blyton dan terutama buku Lord Baden Powell. Buku terakhir ini sangat mempengaruhi kehidupan saya. Kecintaan saya pada kegiatan kepramukaan sangat dipengaruhi Bapak Pandu Sedunia ini. Senang rasanya mengalami jurit malam, berkemah, belajar tali temali, semaphore, menyelusuri hutan dan kegiatan alam lainnya. Pokoknya excited banget deh, serasa petualang beneran walaupun sebenarnya saya penakut :). Saya juga pernah bercita-cita menjadi penemu, terinspirasi oleh cerita-cerita yang ada di seri penemu. Ingin bisa seperti James Watt, Edison, Wright Bersaudara dan Curie. Hehehe. Namanya juga anak-anak, boleh donk berkhayal :). Lain hari saya ingin jadi perawat seperti Florence Nightingale.
Memasuki masa sekolah menengah pertama buku bacaan saya beralih pada karya Agatha Christie (masih tetap cerita detektif juga :)). Dan buku sastra karya N.H.Dini, Ajip Rosidi, Buya Hamka, Kahlil Gibran, dan lain-lain. Waktu itu sih saya tidak tahu kalau itu karya sastra. Berhubung di rumah koleksi buku orang tua dan kakak saya banyak, maka buku apapun saya baca (Ini sih memang karena tidak ada hiburan lain maka membaca jadi semacam rutinitas yang memabukkan 😉 ). Termasuk buku Anne Frank dan catatan harian Soe Hok Gie.
Memasuki awal sekolah menengah atas, ada kejadian yang tiba-tiba membuat saya ngetop mendadak *halah*. Saat itu guru bahasa Indonesia mewajibkan setiap anak membaca buku karya sastra dan kemudian membuat resensi nya. Beberapa buku yang Beliau sarankan terdengar familiar untuk saya. Tentu saja, karena saya sudah pernah membacanya. Mendadak buku-buku tersebut stok nya abis di perpustakaan. Beberapa teman yang mengetahui saya mempunyai koleksi buku di rumah langsung meminjam. Omongan dari mulut ke mulut menyebar ke kelas-kelas lain. Tiba-tiba saja banyak teman baru yang mencari saya. Hmm, mungkin seperti ini rasanya jadi seleb ya? 😉
Suatu ketika saya sedang membaca di jam istirahat (Oya, kalau anak-anak lain kabur ke kantin pas jam istirahat saya tetap anteng di kelas, membuka bekal roti yang telah disiapkan oleh Ibu dan mulai asyik membaca. Kalau sekarang pasti dikomentarin ‘nggak banget’ kali ya? hehehe), seorang teman menyeletuk seperti ini ‘Ada gambarnya nggak?’ Saya yang nggak mudeng dengan pertanyaannya saat itu cuma diam saja sampai akhirnya dia mengulangi pertanyaannya ‘Ada gambarnya nggak di buku itu? Kok tebel banget’. Oalah, mungkin dia kira ini buku komik kali ya? Waktu itu kalau tidak salah saya baca buku Opera Jakarta yang tebalnya ampun-ampunan. Kaget lagi dia waktu saya baca buku penjara Alcatrax. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, diantara puluhan anak perempuan mungkin saya jadi makhluk aneh kali ya? 🙂
Tapi, kenangan bersama buku-buku itu senantiasa lekat. Lembaran-lembaran pada setiap halamannya terkadang masih melintas dalam ingatan. Pesan moral pada setiap buku adalah pelajaran bagi saya bagaimana menjalani kehidupan ini dengan terus bersyukur setiap waktu.